ORDE BARU

Ini cerita tentang tempat penahanan dan kisah penyiksaan terhadap yang menentang rezim orde baru. Sebuah misteri tempat penyiksaan yang tak pernah dipublikasikan. Buku ini dikisahkan oleh mereka yang selamat dan bisa keluar hidup hidup dari ‘ neraka ‘ itu. Sungguh menyesakan bahwa sebuah sistem kekuasaan bisa membuat seseorang kehilangan mata hati serta nurani kemanusiaannya.
Ada beberapa tempat yang sering dipakai sebagai ladang pembantaian terhadap tahanan seperti rumah di Jl Gunung Sahari yang disebut rumah tahanan Kalong dan bekas kantor Kodim Jakarta Timur. Kedua tempat itu umumnya untuk tahanan PKI, disamping Rumah Tahanan Militer Jl. Budi Utomo. Kemudian kantor polisi militer di Jl Guntur, rumah di Jalan Kramat yang disebut Kremlin dan bangunan di kebayoran lama yang biasa disebut Gang Buntu untuk tahanan peristiwa tanjung priok, Talang sari lampung, pemboman bank BCA, Kasus Malari atau pembajakan pesawat Garuda ‘ Woyla ‘.
Juga kisah para mahasiswa yang diculik oleh sebuah kesatuan militer yang menyekapnya di tempat kesatuannya di daerah Cijantung dan Serang, Jawa Barat.

Mereka yang ditahan mengalamai pemyiksaan secara brutal dan kejam seperti dipukuli sampai babak belur, dicambuk dengan buntut ikan pari, disetrum, kuku dicopot, direndam di bak yang penuh lintah sampai akhirnya yang bernasib sial mati ditembak atau ditenggelamkan di laut.
Tentu saja proses interogasi tidak didampingi pengacara, dan terserah kapan saja tentara yang memanggilnya. Untuk merendahkan harga diri tahanan, umumnya mereka diinterograsi sambil telanjang, tak kecuali tahanan wanita.
Sistem sel dan kamar tahanan dibuat sedemikian rupa berdekatan dengan ruang interogasi, sehingga para tahanan bisa mendengar jeritan mereka yang disiksa. Lokasi tahanan ini adalah tempat ‘ yang tak tercatat ‘ dan memang tak melewati sistem peradilan yang jujur.

Dalam ruang penyiksaan ini, mereka dipaksa untuk membongkar jaringan dan teman temannya yang belum tertangkap. Jika para penyiksa belum mendapat informasi yang mereka mau, mereka mengembalikan tahanan yang sudah babak belur ke dalam sel dan mengambil korban berikutnya. Bahkan ada seorang tahanan yang kakinya patah, setelah mendapat perawatan, kembali di siksa dengan kakinya masih dibungkus gips.
Jangan berharap Tuhan ada disini, demikian maki seorang tentara yang menggunting jilbab seorang tahanan wanita yang tersangkut kasus Tanjung Priok, saat ia berteriak “ Allahu Akbar “ ketika disiksa.
Suatu malam ada seorang tahanan yang kedinginan dalam selnya. Tiba tiba seorang tentara melempar Jaket. Ia berterima kasih, dan langsung memakainya. Karena gelap, ia tak melihat bahwa Jaket itu sudah dipenuhi oleh semut semut, sehingga sekujur badannya bengkak bengkak.
Seorang tahanan petinggi kelompok Warsidi, Lampung suatu saat kehausan. Ia langsung meminum ketika disodori air, yang ternyata air dari got selokan.

Semua petinggi militer disini memiliki ‘ lisence to kill ‘ yang tak perlu dipertanyakan. Hanya Tuhan dan mereka yang tahu kapan harus mencabut nyawa tahanan.

Para mahasiswa yang diculik menjelang jatuhnya rezim orde baru juga mengalami siksaan yang maha dasyat. Andi Arief, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi mengalami siksaan psikologis dimana matanya ditutup selama sepuluh hari, sambil terus dipukuli. Mereka biasanya ditidurkan sambil telanjang diatas balok es, disetrum alat kemaluannya atau digantung dengan kepala dibawah. Beberapa dari mereka tak pernah kembali dan tak jelas dimana kuburannya seperti Bimo Petrus atau Deddy Hamdun.
Tentu saja kita tak bisa menampik bahwa ini adalah kebijakan yang direstui oleh pemimpin militer atau Presiden Soeharto, karena mereka bisa berbulan bulan atau lebih dari setahun berada dalam tahanan yang dirahasiakan. Justru sempat terjadi pergantian Pangab dari Faisal Tanjung ke Wiranto.

Neraka ini benar benar nyata ada di negeri kita, lebih brutal daripada kisah tahanan Stalin, Hitler atau Jepang jaman Perang Dunia ke II. Bahkan sejarah kediktatoran rezim orde lama tidak pernah mencatat bentuk kekejaman seperti ini. Umumnya pada jaman itu tahanan politik mereka yang terlibat dalam pemberontakan dan separatisme, DI /TII, PRRI / Permesta maupun Masyumi dan PSI yang duduk dalam pemerintahan PRRI / Permesta. Bukan mereka yang menentang secara langsung paham Nasakom. Sehingga Partai Katolik, Himpunan Mahasiswa Islam atau Bung Hatta yang jelas menolak komunisme tidak pernah dibubarkan atau ditahan. Sementara Soeharto yang atas nama Pancasila dengan mudahnya menjebloskan mereka mereka yang menolak ideologi ini. Padahal tidak seperti Soekarno yang mengalami ancaman pembunuhan secara langsung seperti pemboman granat dan penembakan. Soeharto juga tidak pernah mengalami rasanya hidup di penjara.

0 komentar:

Posting Komentar

ORDE BARU

Ini cerita tentang tempat penahanan dan kisah penyiksaan terhadap yang menentang rezim orde baru. Sebuah misteri tempat penyiksaan yang tak pernah dipublikasikan. Buku ini dikisahkan oleh mereka yang selamat dan bisa keluar hidup hidup dari ‘ neraka ‘ itu. Sungguh menyesakan bahwa sebuah sistem kekuasaan bisa membuat seseorang kehilangan mata hati serta nurani kemanusiaannya.
Ada beberapa tempat yang sering dipakai sebagai ladang pembantaian terhadap tahanan seperti rumah di Jl Gunung Sahari yang disebut rumah tahanan Kalong dan bekas kantor Kodim Jakarta Timur. Kedua tempat itu umumnya untuk tahanan PKI, disamping Rumah Tahanan Militer Jl. Budi Utomo. Kemudian kantor polisi militer di Jl Guntur, rumah di Jalan Kramat yang disebut Kremlin dan bangunan di kebayoran lama yang biasa disebut Gang Buntu untuk tahanan peristiwa tanjung priok, Talang sari lampung, pemboman bank BCA, Kasus Malari atau pembajakan pesawat Garuda ‘ Woyla ‘.
Juga kisah para mahasiswa yang diculik oleh sebuah kesatuan militer yang menyekapnya di tempat kesatuannya di daerah Cijantung dan Serang, Jawa Barat.

Mereka yang ditahan mengalamai pemyiksaan secara brutal dan kejam seperti dipukuli sampai babak belur, dicambuk dengan buntut ikan pari, disetrum, kuku dicopot, direndam di bak yang penuh lintah sampai akhirnya yang bernasib sial mati ditembak atau ditenggelamkan di laut.
Tentu saja proses interogasi tidak didampingi pengacara, dan terserah kapan saja tentara yang memanggilnya. Untuk merendahkan harga diri tahanan, umumnya mereka diinterograsi sambil telanjang, tak kecuali tahanan wanita.
Sistem sel dan kamar tahanan dibuat sedemikian rupa berdekatan dengan ruang interogasi, sehingga para tahanan bisa mendengar jeritan mereka yang disiksa. Lokasi tahanan ini adalah tempat ‘ yang tak tercatat ‘ dan memang tak melewati sistem peradilan yang jujur.

Dalam ruang penyiksaan ini, mereka dipaksa untuk membongkar jaringan dan teman temannya yang belum tertangkap. Jika para penyiksa belum mendapat informasi yang mereka mau, mereka mengembalikan tahanan yang sudah babak belur ke dalam sel dan mengambil korban berikutnya. Bahkan ada seorang tahanan yang kakinya patah, setelah mendapat perawatan, kembali di siksa dengan kakinya masih dibungkus gips.
Jangan berharap Tuhan ada disini, demikian maki seorang tentara yang menggunting jilbab seorang tahanan wanita yang tersangkut kasus Tanjung Priok, saat ia berteriak “ Allahu Akbar “ ketika disiksa.
Suatu malam ada seorang tahanan yang kedinginan dalam selnya. Tiba tiba seorang tentara melempar Jaket. Ia berterima kasih, dan langsung memakainya. Karena gelap, ia tak melihat bahwa Jaket itu sudah dipenuhi oleh semut semut, sehingga sekujur badannya bengkak bengkak.
Seorang tahanan petinggi kelompok Warsidi, Lampung suatu saat kehausan. Ia langsung meminum ketika disodori air, yang ternyata air dari got selokan.

Semua petinggi militer disini memiliki ‘ lisence to kill ‘ yang tak perlu dipertanyakan. Hanya Tuhan dan mereka yang tahu kapan harus mencabut nyawa tahanan.

Para mahasiswa yang diculik menjelang jatuhnya rezim orde baru juga mengalami siksaan yang maha dasyat. Andi Arief, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi mengalami siksaan psikologis dimana matanya ditutup selama sepuluh hari, sambil terus dipukuli. Mereka biasanya ditidurkan sambil telanjang diatas balok es, disetrum alat kemaluannya atau digantung dengan kepala dibawah. Beberapa dari mereka tak pernah kembali dan tak jelas dimana kuburannya seperti Bimo Petrus atau Deddy Hamdun.
Tentu saja kita tak bisa menampik bahwa ini adalah kebijakan yang direstui oleh pemimpin militer atau Presiden Soeharto, karena mereka bisa berbulan bulan atau lebih dari setahun berada dalam tahanan yang dirahasiakan. Justru sempat terjadi pergantian Pangab dari Faisal Tanjung ke Wiranto.

Neraka ini benar benar nyata ada di negeri kita, lebih brutal daripada kisah tahanan Stalin, Hitler atau Jepang jaman Perang Dunia ke II. Bahkan sejarah kediktatoran rezim orde lama tidak pernah mencatat bentuk kekejaman seperti ini. Umumnya pada jaman itu tahanan politik mereka yang terlibat dalam pemberontakan dan separatisme, DI /TII, PRRI / Permesta maupun Masyumi dan PSI yang duduk dalam pemerintahan PRRI / Permesta. Bukan mereka yang menentang secara langsung paham Nasakom. Sehingga Partai Katolik, Himpunan Mahasiswa Islam atau Bung Hatta yang jelas menolak komunisme tidak pernah dibubarkan atau ditahan. Sementara Soeharto yang atas nama Pancasila dengan mudahnya menjebloskan mereka mereka yang menolak ideologi ini. Padahal tidak seperti Soekarno yang mengalami ancaman pembunuhan secara langsung seperti pemboman granat dan penembakan. Soeharto juga tidak pernah mengalami rasanya hidup di penjara.

0 komentar:

Posting Komentar